Jakarta –
Seorang wanita dalam gaun terlihat acak-acakan; dia berjalan cepat dari arah dapur, sambil merintih dia berteriak. “Jam berapa?”
Teman bicaranya, yang fokus pada layar persegi di depannya, bahkan tidak melihat ke atas. Dia sedang memperhatikan wanita berbaju merah muda dengan tas di ransel, yang bernyanyi dengan monyet, dengan gambar peta bergoyang-goyang, di layar 14 inci.
Kesal karena tidak mendapat jawaban, tangan wanita gesit itu dengan cepat meraih telinga orang lain. Lawan yang mengeluh tidak lagi diperhatikan; dia tampak belum selesai dengan amarahnya, tangannya yang lain yang bebas, dia biasa mengambil remote TV, menekan tombol kekuasaandan jangan lupa untuk membuang remote di mana saja.
“TV terus, TV terus, kamu mau jadi apa! Kamu…” sambil melanjutkan omelannya, dia membawa lawan bicaranya ke kamar mandi. Dan tentunya yang berikutnya masih dihiasi dengan omelan yang cukup memekakkan telinga.
Sepenggal kisah itu, sepertinya tidak asing lagi bagi generasi millennial dan generasi awal Z. Anak-anak akhir 90-an dan awal 2000-an pasti pernah mengalami kehidupan seperti itu. Mungkin hanya improvisasi targetnya saja yang berbeda. Tapi temanya tetap, “cerewet”.
Hebatnya, omelan seperti itu terus membudaya, berkembang, dan mampu mengikuti tren zaman hingga sekarang. Meski objek pemicunya sudah diubah, menjadi lebih sederhana, bukan lagi karena asyiknya nonton TV, tapi gadget.
Ya, sebenarnya perilaku “kecanduan” pada anak bukanlah hal baru. Kita orang dewasa juga pernah mengalaminya. Kecanduan TV di masa lalu membuat kita lupa waktu. Lupa kapan makan, kapan tidur, kapan belajar, hingga waktu mandi meski sering kita abaikan.
Demikian juga di zaman sekarang ini, gadget dan serangkaian fiturnya menyita waktu dan perhatian anak-anak. Di sudut-sudut rumah kita jumpai anak-anak yang sibuk dengan benda-benda datar, fokus, serius, tidak bisa diganggu. Sungguh peniru yang hebat dari orang tuanya.
Bentuknya yang lebih sederhana, tampilan yang menarik, dan program yang lebih variatif membuat gadget memiliki posisi penting bagi anak. Bahkan, ia sering merasa gelisah tanpa kehadirannya.
Lebih buruk lagi, itu disetujui oleh orang dewasa. Tak jarang orang tua memilih memberikan gadget untuk membuat anak lebih tenang. Dan orang dewasa memilih jalan keluar (memberi gadget kepada anak-anak) agar dia juga tenang.
Bermain gadget memang terlihat santai; anak yang rewel bisa tenang, dan orang tua juga bisa melanjutkan aktivitasnya dengan tenang. Anak yang suka main di luar, susah dibawa pulang, bisa tenang di rumah, jadi orang tua tenang, tidak perlu repot mengawasinya. Dan masih banyak lagi ketenangan semu yang semakin mudah dengan adanya gadget.
Namun, sebagai obat penenang pada umumnya. Ketenangan instan tidak dapat dikonsumsi terus menerus, tanpa batasan.
Kondisi ini tentu tidak selalu benar-benar menenangkan. Penggunaan obat penenang juga harus dilakukan dengan bijak bukan? Jumlah dosis, kondisi pasien, dan jenis obat harus dipertimbangkan dan dipikirkan secara mendalam. Sebagai tugas dokter untuk menentukan resep obat.
Sama seperti orang tua yang secara sadar mengambil jalan keluar untuk memberikan akses gadget kepada anaknya. Juga harus melakukan upaya ini. Tindakan pengaturan dan pembatasan. Ia tidak serta merta memberikan gadget, terlepas dari cara anak menggunakan smart object tersebut. Giliran anak yang mengalami kecanduan, mudahnya manusia yang disebut orang tua memarahi dan menyalahkan anak, menyalahkan zaman, bahkan menyalahkan perkembangan teknologi.
Mereka lupa bahwa keberadaan anak-anak, perkembangan zaman, dan perkembangan teknologi adalah hal-hal yang selama ini mereka impikan.
Kembali ke topik “obat penenang”, upaya yang dapat dilakukan orang tua sebagai penyedia akses dan fasilitas berupa gadget untuk anak, salah satunya dengan menggunakanmengelola pemanfaatannya. Orang tua harus bisa memilih kapan, apa, dan bagaimana program dapat diakses oleh anak. Layaknya dokter yang berkompeten, orang tua yang mampu melakukan upaya tersebut layak disebut sebagai orang tua yang bijaksana.
Dosis
Seorang dokter tentunya memiliki pengetahuan terkait dosis suatu obat. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, dokter harus benar-benar memahami dalam pertimbangan dan tekadnya. Kapan obat itu diminum dan harus dihentikan.
Begitu juga dengan orang tua, mereka harus memahami kapan waktu yang tepat bagi anak untuk diperbolehkan menggunakan gadget, menentukan berapa lama, dan memilih aktivitas apa yang bisa dilakukan anak, agar bisa menjeda atau mengalihkan perhatian anak dari gadget. Hal ini menjadi poin penting yang harus diperhatikan orang tua sebelum dan saat mengambil keputusan untuk memberikan akses gadget kepada anaknya.
Kondisi
Pemeriksaan yang dilakukan dokter terhadap pasien dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi pasien. Dengan memahami kondisi pasien, dokter akan dapat mengetahui apa yang dibutuhkan dan merumuskan tindakan lain yang tepat untuk dilakukan.
Orang tua yang memberikan fasilitas gadget kepada anak harus memahami kondisi dan tahapan perkembangan yang sedang dialami oleh anaknya. Baik secara fisik, kognitif, bahasa, maupun psikologis. Dengan pemahaman tersebut, tentu memudahkan orang tua untuk menetapkan batasan akses gadget bagi anaknya.
resep
Dokter tentu memiliki kemampuan menganalisis dan memahami obat. Resep yang ia berikan kepada pasien tidak diatur sembarangan, hal ini dilakukan untuk membantu penyembuhan dan meminimalkan efek samping.
Begitu juga dengan orang tua, mereka harus memahami jenis acara, program, atau bahkan permainan terjangkau dan cocok untuk anak-anak. Karena seperti yang kita ketahui, arus teknologi sangat cepat dan bebas. Harus bisa difilter dengan baik.
Teknologi selalu dianalogikan dengan pisau yang dapat membantu menyelesaikan pekerjaan atau bahkan menghancurkan dan membunuh. Keberadaan gadget untuk anak pun, dapat sangat membantu perkembangannya, atau bahkan menghambat perkembangan anak. Untuk itu, orang tua yang memilih untuk memberikan akses kepada anak juga harus menjalankan fungsi kontrol.
Kecanggihan teknologi harus dimanfaatkan oleh orang tua untuk dapat mengontrol akses gadget pada anak. Sayangnya seperti anak-anak yang masih sembarangan mengakses gadget, orang dewasa di sekitarnya juga kurang menyadari pada hal-hal penting tersebut. Hal ini diperparah dengan masih banyaknya orang dewasa yang belum berkompeten; kurang memahami penggunaan teknologi secara bijak.
Namun, keputusan untuk tidak mengenalkan teknologi sama sekali pada anak di usia tertentu sepertinya juga bukan keputusan yang tepat. Seperti kata Socrates yang cukup fenomenal, didiklah anak-anakmu pada masanya. Ungkapan ini juga dapat diartikan bahwa mendidik anak harus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Memaksa anak-anak untuk hidup seperti di zaman orang tua mereka juga tampaknya bukan tindakan yang bijaksana.
Memperkenalkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang relevan dengan perkembangan zaman, serta keberadaan teknologi yang dapat dijadikan sebagai pendidikan sekaligus hiburan penting bagi anak. Tentunya dengan aturan dan batasan yang harus terus dikontrol. Sehingga ia mampu hidup relevan dengan zamannya. Namun, semua kembali kepada orang tua, mampu dan mau atau tidak?
(mm/mm)