Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia (BI) melakukan sesuatu yang tidak biasa ketika situasi ekonomi penuh ketidakpastian, terutama saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Apakah penjualan surat berharga negara (SBN)
“Penjualan SBN dilakukan dalam rangka pengelolaan operasi moneter tetapi juga untuk mendorong imbal hasil SBN di pasar sekunder agar bergerak naik,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pekan lalu.
Diketahui, dalam dua tahun terakhir, BI cukup agresif membeli SBN. Apalagi saat dirilis oleh investor saat pasar keuangan sedang goyang akibat pandemi COVID-19 di tahun 2020. Hal ini mendorong likuiditas di pasar melimpah.
Untuk APBN 2020, SBN yang terserap sebesar Rp473,42 triliun. Terdiri dari pembelian SBN dari pasar perdana (SKB I) sebesar Rp75,86 triliun dan pembelian langsung SBN dalam rangka pembagian beban (SKB II) sebesar Rp397,56 triliun. Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp. 166,20 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.
Dalam APBN 2021 akan mencapai Rp. 358,32 triliun, terdiri dari Rp. 67,87 triliun melalui lelang induk, Rp. 75,46 triliun melalui lelang tambahan (GSO), dan 215 triliun melalui private placement. Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp. 8,62 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.
Pembelian SBN di pasar perdana untuk APBN 2022 (per 28 Juni 2022) mencapai Rp32,78 triliun, terdiri dari Rp13,81 triliun melalui lelang utama, Rp6,96 triliun melalui lelang tambahan (GSO), dan Rp12,01 triliun melalui swasta. penempatan. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk membeli SBN berdasarkan SKB III sebesar Rp224 triliun untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan dalam APBN 2022.
Likuiditas yang melimpah tersebut kini dinilai berlebihan. Oleh karena itu, BI mulai melakukan normalisasi yang berujung pada pengetatan kebijakan moneter dengan menjual SBN untuk menarik likuiditas.
Sebenarnya, upaya pengetatan sudah dimulai dari kebijakan lain. Salah satunya adalah peningkatan Giro Wajib Minimum (GWM). Sejak 1 Maret hingga 15 Juli 2022, likuiditas perbankan menyerap sekitar Rp. 219 triliun. Peningkatan GWM secara bertahap sampai dengan September 2022.
Normalisasi moneter yang telah dilakukan dalam beberapa bulan terakhir, termasuk peningkatan GWM, akan dipercepat dengan memperhatikan pentingnya mitigasi risiko nilai tukar dan inflasi di tengah ketidakpastian yang tinggi dan perlunya memberikan sinyal yang lebih kuat. kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo kepada CNBC. Indonesia.
Mengenai jumlah penjualan, BI akan melihat kondisi pasar. “Jumlah penjualan dalam pelaksanaannya akan selalu memperhatikan dinamika pasar dan pertimbangan dari sisi kebijakan,” jelasnya.
David Sumual, Ekonom PT Bank BCA Tbk mengatakan kepada CNBC Indonesia bahwa langkah BI sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat (AS). Hanya AS yang mengambil langkah lebih cepat karena lonjakan inflasi yang sangat mengkhawatirkan.
Risiko yang perlu diperhatikan BI saat menjual SBN adalah pembeli. David meragukan bahwa orang asing akan tertarik, sehingga mendorong arus masuk. “Kalau dilihat-lihat maunya orang asing, baru sekarang malah inflow terus,” imbuhnya.
Sedangkan jika pembelinya adalah investor dalam negeri, khususnya perbankan, situasi tersebut dapat berdampak pada penyaluran kredit.
Irman Faiz, Analis Ekonomi Makro Bank Danamon meragukan kebijakan ini akan mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Meski ada kemungkinan imbal hasil SBN bisa dinaikkan. Dolar AS kini bergerak di sekitar level Rp. 15.000.
“Saya kira dampaknya terhadap rupiah relatif tidak berkelanjutan karena saat ini asing sulit masuk ke pasar domestik karena banyak faktor. Tidak hanya yield spread tetapi juga pengetatan likuiditas global dan juga ketidakpastian akibat resesi global,” kata Irman kepada CNBC Indonesia.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Rupiah Mendekati Rp 15.000/US$, Inilah Money Changer
(saya/saya)