Nationalgeographic.co.id—“Ibu,” kata Reno Andam Suri ke Raudha Thai dalam ekspedisi kuliner. Kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan, “Konotasi orang dengan makanan hitam dan kering adalah pahit—makanan yang gagal-tapi kenapa orang Minangkabau ini punya produk yang namanya rendang?”
Reno dikenal sebagai penulis dan narator makanan Minang, serta Pendiri Rendang Uni Farah. Bahkan jika dia juga kita adalah tubuhdia bertanya-tanya bagaimana orang Minangkabau bisa mengelabui makanan yang terlihat gosong ini agar enak?
Apakah makanan ini terinspirasi dari masakan budaya lain atau ‘kebetulan’? Artinya, ketika seseorang memasak kalio dalam jumlah banyak, maka belum habis dan dipanaskan lagi sehingga membentuk rendang yang kita kenal.
“Tidak ada, Reno. Kami memasak rendang karena kami ingin memasak rendang,” jawab Raudha Thaib di Istana Pagaruyung. Raudha Thaib adalah seorang budayawan, pewaris Pagaruyung, dan profesor di Universitas Andalas, Sumatera Barat. Pertemuan itu telah terjadi beberapa waktu yang lalu, dan dia mengingatnya dalam Diskusi Editorial-51: Presentasi Sejarah Sekrat Rendang pada Kamis 7 Juli 2022.
Rendang identik dengan masakan Minangkabau. Padahal, kebanyakan orang saat Lebaran dan Lebaran, rendang harus ada di sana untuk disantap bersama keluarga. Namun, bagaimana tepatnya makanan ini muncul?
Gulai, bafado Portugis, dan kari India?
Sejarawan kuliner Fadly Rahman dari Universitas Padjajaran, Jawa Barat, tulis di Jurnal Makanan Etnis Pada 2020. Ia memperkirakan, kemunculan rendang terjadi karena pengaruh kedatangan bangsa Eropa yang lebih dulu datang mencari rempah-rempah di Nusantara, Portugal. Menurutnya, secara visual rendang mirip dengan makanan khas Portugis.
“Pengolahan daging ala Portugis sendiri meliputi assado (memanggang), recheado (mencampur daging dengan bumbu), buisando (merebus), dan bafado (mengukus),” tulis Fadly.
Ketika Portugis tiba, kebiasaan makan mereka terbawa dan meresap dalam campuran budaya yang disebut Luso-Asia. Dia menebak itu diare memiliki bahasa dan teknik yang sama dengan balado.
Teori lain juga dikemukakan oleh Fadly, bahwa rendang kalio mungkin telah diadaptasi oleh masyarakat Melayu dan Minangkabau dari Sumatera. kaus kaki sapi atau kari goreng (kari goreng), sehingga terlihat mirip dengan rendang darek yang sangat kering.
National Geographic Indonesia
Diskusi Redaksi-51 berjudul Presentasi Sejarah Sekerat Rendang, Warisan Cita Rasa Luso Asia di Tanah Minang.
Percampuran orang Asia dan Portugis memang terbukti dengan percampuran budaya antara Luso-Asia. Namun pengaruh percampuran dengan Portugis sangat terlihat di beberapa bagian timur Nusantara seperti pulau Timor dan Ambon.
“Luso Asia meninggalkan makanan acar,” kata Ari Budiyanto, antropolog Universitas Brawijaya yang menjadi pembicara utama dalam Editorial Talk ke-51. “Karena ini perjalanan laut, jadi salah satunya adalah pengawet untuk bahan makanannya [untuk] ham (babi).”
Orang-orang Iberia, seperti Portugis dan Spanyol, membawa bahan makanan baru ke seluruh dunia. Misalnya kacang tanah, tomat dan kentang merupakan tanaman yang bukan asli nusantara, kata Ary.
Rendang adalah warisan cita rasa Luso Asia. Di Sumatera Barat, armada Portugis mendarat pertama kali pada tahun 1516 di Pantai Salido. Kemudian mereka menginjakkan kaki di Padang pada tahun 1561. Cabai keriting, salah satu bumbu untuk bumbu rendang dan balado, diperkenalkan oleh Portugis kepada orang Minang. Sampai sekarang orang Minang menyebutnya ‘lado’ karena rasa pedasnya yang mirip dengan lada.
Namun, rendang tidak pernah dalam istilah makanan Portugis. Di Makhluk Kokke, sebuah buku kuliner tahun 1856, mereka menyebutnya kari padang. Ary menambahkan, orang Eropa berpandangan bahwa makanan dengan bumbu adalah kari (makanan khas India), meski kandungannya sedikit.

Nurul Kusumawardani
Rendang daun kayu adalah makanan khas Sumatera Barat
Untuk membuktikannya, selama satu tahun, Ary mengunjungi pantai barat India untuk mengamati beberapa hidangan kari dari negara asalnya. Dia tidak menemukan kari dengan bumbu seperti di gulai—bahan untuk membuat rendang.
“Jadi kita kenal kari dan kari. Itu kata yang baru masuk saat kari diperkenalkan baik dari Inggris maupun dibawa oleh India,” jelasnya.
Tentang kari. Ternyata persiapan itu sudah disebutkan jauh sebelum kedatangan Eropa. Hal ini terbukti dalam Kakawin Ramayana dari masa Mataram Hindu. Ia juga mencatat beberapa hidangan makanan khas ‘Nusa Barat’ yang sudah tidak asing lagi bagi orang Jawa dan Sumatera.
Ary baru saja merilis bukunya yang berjudul Rendang, Balado Bafado, Gulai & Kari; Jejak Kuliner Luso Asia di Minangkabau. Buku ini diterbitkan oleh Kendi pada Juni 2022.
“Tidak bisa dipungkiri, masuknya orang asing ke suatu tempat niscaya akan membawa budaya kulinernya juga,” kata Ary dalam bukunya. Hal ini juga terjadi pada saat masuknya Islam […] serta bangsa asing lainnya seperti Jawa, Cina, Portugal, Inggris, Amerika, dan Belanda hingga Minang misalnya.”
Rendang kalio memang mirip dengan vindaloo Portugis atau kari bafado. Namun, benarkah “bafado” adalah asal mula “rendang” dan “balado”? Bagaimana hubungan rendang dengan teknik memasak dalam resep Portugis?
“Akhirnya jelas di sini bahwa tidak ada peran metode memasak Portugis dalam teknik memasak rendang dan balado Minangkabau,” ujarnya dalam buku tersebut. “Teknik rendang adalah masakan asli Minangkabau.”
‘Di mana bumi diinjak, di mana langit diperjuangkan’
Reno melanjutkan perjalanannya dalam ekspedisi kuliner. “Saya menemukan sakit, itu adalah kata kerja. Itu cocok dengan randang (Bahasa Minangkabau untuk rendang), itu kata kerja,” ujarnya.
“Marandang adalah proses menghilangkan air dengan cara diaduk terus menerus dengan api kecil sampai airnya nol—airnya habis.” Beginilah cara memasak rendang yang dimulai dengan berbagai bahan untuk menghasilkan kalio, kemudian menjadi rendang.
Cara ini juga yang membuat daging rendang bertahan berhari-hari untuk dimakan di lain waktu. Belum lagi secara budaya, rendang disajikan dengan daging besar untuk dimakan bersama, tetapi tidak bisa dimakan sekali, sehingga perlu disimpan.
Rendang diduga muncul karena budaya orang Minangkabau merantau sendiri. sistem matrilineal kita adalah tubuh menempatkan seorang pria harus mengembara, dan menjadi tinggal di rumah istrinya.

Muhammad Alzaki Tristi
Festival Budaya Keraton Nusantara XII Tahun 2018 di Istana Pagaruyung, Kota Batusangkar. Bendera Marawa adalah lambang kebesaran orang Minangkabau, mewakili sejarah asal usul adat Minangkabau, Luhak Nan tuo, di Nagari Pariangan.
Daerah Minangkabau dekat dengan pelabuhan, perjalanan dari dan ke daerah terpencil juga harus menyusuri sungai. Perjalanan ke negeri yang jauh membutuhkan waktu berhari-hari, sehingga masyarakat Minangkabau harus menjaga ketahanan pangannya. Diperkirakan inilah yang mendorong munculnya rendang.
Ditambah lagi, masuknya Islam dan meresapnya ke dalam budaya membuat daging sapi dan kerbau sering digunakan. “Pembuatan rendang, menurut spekulasi saya, sudah ada sejak masuknya Islam ke Minangkabau,” ujarnya Asvi Warman Adam dari Pusat Riset Politik-Badan Riset Inovasi Nasional (PRP-BRIN). “Sesungguhnya Islam datang, otomatis amalan qurban pun dilakukan.”
Perjalanan untuk berdagang dan haji menjadi salah satu alasan masyarakat Minangkabau membuat rendang, jelas Asvi. Perjalanan ke Mekkah memakan waktu berbulan-bulan untuk berlayar, dan biasanya para peziarah tinggal untuk belajar agama.
Namun, tradisi rendang berbeda. Beberapa daerah di daerah yang lebih dalam atau darek seperti Tanah Datar, Agam, dan Fifty Cities, bumbunya sangat minimalis, bahkan sedikit bumbu. Penggunaan cabai, bawang merah, bawang putih, laos, jahe, daun kunyit, dan daun salam bersifat opsional. Kata Reno, rendang seperti itu yang asli.
Baca Juga: Sepotong Rendang, Sepenggal Kisah Abadi di Kedai Makan Padang
Baca Juga: Selidiki Rijsttafel, Tempat Makan Kelas Atas di Hindia Belanda
Baca Juga: Tan Malaka, Bangsawan Tanah Minang yang ‘Bunuh Diri Kelas’
Baca Juga: Video: Jangan Salah Katakan, Ini Beda Nasi Kapau dan Nasi Padang
Berbeda dengan daerah pesisir seperti di Padang. Reno memperkirakan kawasan pesisir, karena memiliki akses ke dunia luar, bisa mendatangkan tambahan bumbu dan rempah. Inilah yang populer dan sering disajikan di berbagai restoran Padang.
Selain itu, penggunaan dagingnya juga berbeda. Daerah pertanian seperti Batusangkar, tidak menggunakan daging sapi atau kerbau untuk rendang, melainkan belut. Rendang belut bahkan digunakan dalam upacara adat masyarakat Batusangkar.
“Rendang itu adaptif,” kata Reno. Seperti yang dikatakan orang Minang: di mana bumi diinjak-injak di mana langit diperjuangkan—di mana bumi diinjak di situ langit dijunjung.”
Mengapa kita menemukan rendang bebek di Indonesia? desa kapa, kalau kita lihat di Pasar Ateh, itu sebenarnya rendang ayam dan rendang bebek. Hal-hal itulah yang membuat saya berpikir, rendang itu adaptif—mengikuti bagaimana orangnya,” lanjutnya.
Di sesi terakhir, Reno mengatakan bahwa masyarakat Minang bangga dengan rendang dari pegunungan hingga ke pantai. “Rendang adalah kebanggaan orang Minang!”
Periksa Berita dan Artikel lainnya di Google Berita
KONTEN YANG DIPROMOSI
Video Unggulan